Selasa, 16 September 2008

TEKNOLOGI PENDUKUNG e-LEARNING

TEKNOLOGI PENDUKUNG e-LEARNING

Dalam prakteknya e-learning memerlukan bantuan teknologi. Dalam perkembangannya, komputer yang paling populer dipakai sebagai alat bantu pembelajaran secara electronic, karena itu dikenal dengan istilah:

• computer based learning (CBL) yaitu pembelajaran yang sepenuhnya menggunakan komputer; dan
• computer assisted learning (CAL) yaitu pembelajaran yang menggunakan alat bantu utama komputer.

Saat pertama-tama komputer mulai diperkenalkan khususnya pada pembelajaran, maka ia menjadi dikenal atau populer di kalangan anak didik. Bisa dimengerti karena berbagai variasi teknik mengajar bisa di buat dengan bantuan komputer tersebut.

Setelah itu teknologi pembelajaran terus berkembang. Namun pada prinsipnya teknologi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

• Technology based learning, dan

• Technology based web-learning.

Technology based learning ini pada prinsipnya terdiri dari Audio Information Technologies (radio, audio tape, voice mail telephone) dan Video Information Technologies (misalnya: video tape, video text, video messaging). Sedangkan technology based web-learning pada dasarnya adalah Data Information Technologies (misalnya: bulletin board, Internet, e-mail, tele-collaboration).

Dalam pelaksanaan pembelajaran sehari-hari, yang sering dijumpai adalah kombinasi dari teknologi yang dituliskan di atas (audio/data, video/data, audio/video). Teknologi ini juga sering di pakai pada pendidikan jarak jauh (distance education), dimasudkan agar komunikasi antara murid dan guru bisa terjadi dengan keunggulan teknologi e-learning ini.

Senin, 15 September 2008

Belajar E-Learning?

URGENSI PENGGUNAAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
INFORMASI DALAM PENDIDIKAN (E-LEARNING)

E-learning sebagai model pembelajaran baru dalam pendidikan memberikan peran
dan fungsi yang besar bagi dunia pendidikan yang selama ini dibebankan dengan
banyaknya kekurangan dan kelemahan pendidikan konvensional (pendidikan pada
umumnya) diantaranya adalah keterbatasan ruang dan waktu dalam proses pendidikan
konvensional. Teknologi informasi yang mempunyai standar platform internet yang bisa
menjadi solusi permasalahan tersebut karena sifat dari internet itu sendiri yaitu
memungkinkan segala sesuatu saling terhubung belum lagi karakter internet yang murah,
sederhana dan terbuka mengakibatkan internet bisa digunakan oleh siapa saja (everyone),
dimana saja (everywhere), kapan saja (everytime) dan bebas digunakan (available to
every one).
Pengembangan pendidikan menuju e-learning merupakan suatu keharusan agar
standar mutu pendidikan dapat ditingkatkan, karena e-learning merupakan satu
penggunaan teknologi internet dalam penyampaian pembelajaran dalam jangkauan luas
yang berlandaskan tiga kriteria yaitu: (1) e-learning merupakan jaringan dengan
kemampuan untuk memperbaharui, menyimpan, mendistribusi dan membagi materi ajar
atau informasi, (2) pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui komputer dengan
menggunakan teknologi internet yang standar, (3) memfokuskan pada pandangan yang
paling luas tentang pembelajaran di balik paradigma pembelajaran tradisional (Rosenberg
2001; 28), dengan demikian urgensi teknologi informasi dapat dioptimalkan untuk
pendidikan.

Selasa, 13 Mei 2008

Engineering Education

Engineering Education: Web-Based Interactive Learning Resources
Abstract (Summary)

The goal of the ongoing project is to enhance students' learning process by implementing an undergraduate engineering curricular transformation that integrates simulation and visualization modules as well as virtual experiments in engineering science and core courses in three disciplines: electrical, civil, and mechanical engineering. These modules serve as additional learning tools that build on laboratory experiments and classroom learning by engineering students in urban areas where the students' demographics parallel the nontraditional students who typically are older, have families, and work full time in order to earn enough income to fit into the social and economic lifestyles in urban societies. Providing additional learning resources that are accessible to these students at their convenience will enhance their ability to learn. [PUBLICATION ABSTRACT]

Rabu, 23 April 2008

APLIKASI RESEARCH & DEVELOPMENT (R & D) (nyuplik)

APLIKASI RESEARCH & DEVELOPMENT (R & D)

DALAM PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN

REMAJA EFEKTIF ANTI NARKOBA

A. Pendahuluan

Masa remaja adalah masa yang penuh dengan idealisme-idealisme yang membawa banyak nilai-nilai positif, namun banyak juga nilai-nilai negatif yang mengiringinya. Dalam diri remaja tersimpan energi yang besar untuk berkembang, energi motivasi berprestasi, motivasi kreativitas dan motivasi kemandirian. Energi perkembangan tersebut bukan saja mendorong ke arah positif, namun energi tersebut adalah netral yang mampu digerakkan ke arah negatif. Kemampuan memanage energi perkembangan pada masa ini sangat penting untuk optimalisasi perkembangan kepribadian menuju dewasa.

Ketidakmampuan memanage energi perkembangan ini akan mengakibatkan energi ini menjadi liar dan buas. Keliaran dan kebuasan energi ini antara lain terlihat dalam fenomena Making love menurut polling yang dilakukan oleh Jawa Pos pada akhir tahun 2001 yang disebarkan kepada 1000 responden hampir 30 persen permisif dengan making love, kemudian fenomena keterlibatan remaja dengan narkoba yang sampai kini berjumlah sekitar 500.000 – 1,5 juta anak, termasuk remaja (Kompas, 8 Januari 2001) dan lain-lain. Kemampuan memanage energi perkembangan ini sangat terkait dengan nilai dan visi yang ada pada diri remaja itu sendiri. Nilai dan visi ini tidak muncul dengan sendirinya, namun lebih banyak dipengaruhi oleh pendidikan dan lingkungan sosial serta informasi yang diterima oleh remaja.

Fenomena remaja dengan perilaku negatif dikarenakan internalisasi nilai dan pengarahan visi yang diterima oleh remaja selama ini kurang efektif. Hal ini disebabkan antara lain karena pengaruh lingkungan dan informasi yang gencar mempengaruhi remaja bukan nilai dan visi yang positif. Nilai yang terinternalisasi pada remaja kebanyakan nilai permisif dan kapitalistik yang membawa visi remaja ‘hanya’ berujung pada kenikmatan, kemewahan dan keuntungan materialistik. Pengaruh lingkungan sosial yang negatif dan informasi yang berpengaruh negatif harus segera didesak dan tidak mempunyai ruang untuk berkembang.

Masalah pokok remaja berpangkal pada pencarian identitas diri. Mereka mengalami krisis identitas; dikelompokkan anak-anak merasa sudah besar, namun kurang besar untuk dikelompokkan dalam kelompok dewasa. Identitas diri adalah kepastian posisi sosial dalam lingkup pergaulan di mana seseorang berada. Sejauh mana remaja mampu meraih identitas dirinya, tergantung dari sejauh mana remaja mampu mengendalikan luapan emosi saat merasa tersinggung oleh seseorang di sekitarnya; menempatkan diri dengan wajar dalam relasinya dengan teman sebaya; memperoleh tokoh idola untuk pencapaian identitas diri yang mantap, baik dalam kelompok rekan sebaya (peer) atau dalam keluarga; menerima diri apa adanya; mengendalikan intensitas emosi yang kurang menguntungkan karena keterbatasan tersebut dengan mengompensasi melalui pencapaian prestasi sekolah/sosialnya.

Demi kepentingan tersebut, salah satu usaha yang mungkin dilakukan adalah dengan Pelatihan Remaja Efektif Anti Narkoba. Pelatihan Remaja Efektif Anti Narkoba ini adalah merupakan perpaduan antara strategi penanaman nilai-nilai spiritual universal, psikologi perkembangan, teori belajar, strategi pembelajaran, ergonomic dan media pembelajaran. Pelatihan Remaja Efektif Anti Narkoba diharapkan pada gilirannya akan mampu memunculkan remaja-remaja yang berpikir dan bersikap dengan dasar kematangan emosional, dorongan berprestasi, kreatif dan mandiri yang mengantarkan mereka pada pengembangan diri sesuai dengan bakat dan minat mereka. Saat mereka, menjadi remaja efektif, maka “kebebasan-kebebasan” kalau tidak dikatakan keliaran dan kebuasan yang merugikan perkembangan remaja dapat terkurangi atau bahkan terkikis habis berganti dengan remaja yang penuh motivasi untuk berprestasi. Pelatihan Remaja Efektif Anti Narkoba ini menjadi lebih penting lagi mengingat kecenderungan bahwa pengembangan kualitas sumber daya manusia, terutama anak dan remaja berusia di bawah 19 tahun yang kini berjumlah 85 juta orang masih membutuhkan perhatian yang serius.

Untuk melakukan Pelatihan Remaja Efektif Anti Narkoba tersebut tidak harus dilakukan di dalam kelas ataupun outbound, namun dapat dilakukan secara mandiri dengan bantuan media inetraktif yang didesain secara khusus, yang memadukan unsur-unsur komprehensif dalam memfasilitasi perkembangan kepribadian remaja. Media tersebut, yang akan dikembangkan oleh peneliti adalah Training Mandiri: Menjadi Remaja Efektif Anti Narkona. Model pendidikan dan pelatihan ini akan dikembangkan dengan pendekatan Research and Development (R & D).

B. Langkah-Langkah dalam Research and Development

Menurut Borg dan Gall (1989: 783-795), pendekatan Reseach and Development (R & D) dalam pendidikan meliputi sepuluh langkah, yaitu:

1. Studi Pendahuluan: Langkah pertama ini meliputi analisis kebutuhan, studi pustaka, studi literature, penelitian skala kecil dan standar laporan yang dibutuhkan.

a. Analisis Kebutuhan: Untuk melakukan analisis kebutuhan ada beberapa kriteria, yaitu 1) Apakah produk yang akan dikembangkan merupakan hal yang penting bagi pendidikan? 2) Apakah produknya mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan? 3) Apakah SDM yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan pengalaman yang akan mengembangkan produk tersebut ada? 4) Apakah waktu untuk mengembangkan produk tersebut cukup?

b. Studi Literatur: Studi literatur dilakukan untuk pengenalan sementara terhadap produk yang akan dikembangkan. Studi literatur ini dikerjakan untuk mengumpulkan temuan riset dan informasi lain yang bersangkutan dengan pengembangan produk yang direncanakan.

c. Riset Skala Kecil: Pengembang sering mempunyai pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan mengacu pada reseach belajar atau teks professional. Oleh karenanya pengembang perlu melakukan riset skala kecil untuk mengetahui beberapa hal tentang produk yang akan dikembangkan.

2. Merencanakan Penelitian: Setelah melakukan studi pendahuluan, pengembang dapat melanjutkan langkah kedua, yaitu merencanakan penelitian. Perencaaan penelitian R & D meliputi: 1) merumuskan tujuan penelitian; 2) memperkirakan dana, tenaga dan waktu; 3) merumuskan kualifikasi peneliti dan bentuk-bentuk partisipasinya dalam penelitian.

3. Pengembangan Desain: langkah ini meliputi: 1) Menentukan desain produk yang akan dikembangkan (desain hipotetik); 2) menentukan sarana dan prasarana penelitian yang dibutuhkan selama proses penelitian dan pengembangan; 3) menentukan tahap-tahap pelaksanaan uji desain di lapangan; 4) menentukan deskripsi tugas pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian.

4. Preliminary Field Test: langkah ini merupakan uji produk secara terbatas. Langkah ini meliputi: 1) melakukan uji lapangan awal terhadap desain produk; 2) bersifat terbatas, baik substansi desain maupun pihak-pihak yang terlibat; 3) uji lapangan awal dilakukan secara berulang-ulang sehingga diperoleh desain layak, baik substansi maupun metodologi.

5. Revisi Hasil Uji Lapangan Terbatas: langkah ini merupakan perbaikan model atau desain berdasarakan uji lapangan terbatas.

6. Main Field Test: langkah merupakan uji produk secara lebih luas. Langkah ini meliputi 1) melakukan uji efektivitas desain produk; 2) uji efektivitas desain, pada umumnya, menggunakan teknik eksperimen model penggulangan; 3) Hasil uji lapangan adalah diperoleh desain yang efektif, baik dari sisi substansi maupun metodologi.

7. Revisi Hasi Uji Lapangan Lebih Luas: langkah ini merupakan perbaikan kedua setelah dilakukan uji lapangan yang lebih luas dari uji lapangan yang pertama.

8. Uji Kelayakan: Langkah ini meliputi sebaiknya dilakukan dengan skala besar: 1) melakukan uji efektivitas dan adaptabilitas desain produk; 2) uji efektivitas dan adabtabilitas desain melibatkan para calon pemakai produk; 3) hasil uji lapangan adalah diperoleh model desain yang siap diterapkan, baik dari sisi substansi maupun metodologi.

9. Revisi Final Hasil Uji Kelayakan: Langkah ini akan lebih menyempurnakan produk yang sedang dikembangkan.

10. Desiminasi dan Implementasi Produk Akhir: Laporan hasil dari R & D melalui forum-forum ilmiah, ataupun melalui media massa. Distribusi produk harus dilakukan setelah melalui quality control.

Masing-masing langkah secara terperinci akan penulis deskripsikan di bawah ini. Semaksimal mungkin penulis mencoba memberikan contoh terkait dengan Pengembangan Pelatihan Mandiri: Remaja Efektif Anti Narkoba.

C. Aplikasi Langkah I: Studi Pendahuluan

Pertanyaan pertama saat akan melakuan penelitian dan pengembangan produk adalah apakah produk yang akan dibuat mempunyai makna dalam perkembangan pendidikan? Tema penelitian dan pengembangan tentang model pelatihan di atas, mempunyai jawaban “ya!”. Argumentasi yang dapat disampaikan mengapa pengembangan produk model pelatihan remaja efektif penting untuk dilakukan dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya remaja yang terjerat permasalahan narkoba. Hal ini mempunyai pengertian di sisi lain bahwa remaja belum siap menghadapi tugas perkembangannya (untuk mempersipakan dirinya menjadi dewasa) di tengah arus godaan yang menghambat dan menerjang mereka.

Apakah model pelatihan yang akan dikembangkan belum ada? Realitas membuktikan bahwa kasus narkoba semakin bertambah dan semakin banyak melibatkan remaja. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan untuk remaja belum cukup menghindarkan mereka dari jeratan narkoba. Oleh karenanya diperlukan model pendidikan baru bagi remaja untuk menghindarkan mereka dari narkoba, plus menjadi remaja efektif yang mampu menyelesaikan tugas perkembangannya dengan baik dan diharapkan akan memasuki masa dewasa.

Secara teknis, langkah studi pendahuluan dimulai dengan studi literatur. Untuk melakukan studi literatur, maka objek penelitian harus diurai terlebih dahulu. Dalam penelitian ini “Training Mandiri: Remaja Efektif Anti Narkoba”, objek penelitian (produk) yang akan dikembangkan adalah Model Pelatihan Mandiri Berbasis Multimedia. Ada banyak model pelatihan yang sudah berkembang, namun secara spesifik model Pelatihan Mandiri Remaja Efektif Anti Narkoba berbasis multimedia adalah belum ada. Produk dari penelitian dan pengembangan ini adalah CD Interaktif Training Mandiri: Remaja Efektif Anti Narkoba. Ada tiga objek yang harus dipahami melalui studi literatur dalam penelitian ini, yaitu model pelatihan madiri, remaja efektif dan Narkoba. Untuk memperoleh studi literatur dapat diperoleh melalui buku, jurnal, majalah, koran, dan website.

Riset skala kecil dalam konteks penelitian dan pengembangan produk model pelatihan ini dapat difokuskan pada komparasi antara kerangka teori yang didapat dari studi literatur dengan kondisi riil di lapangan. Umpamanya, apakah tugas-tugas perkembangan remaja masih relevan dengan perkembangan masa kini; pola jebakan bagi remaja yang disiapkan oleh sindikasi narkoba; program-program pendidikan dan pelatihan bagi remaja.

D. Aplikasi II: Merencanakan Penelitian

Setelah melakukan studi pendahuluan, pengembang dapat melanjutkan langkah kedua, yaitu merencanakan penelitian. Perencaaan penelitian R & D meliputi: 1) merumuskan tujuan penelitian; 2) memperkirakan dana, tenaga dan waktu; 3) merumuskan kualifikasi peneliti dan bentuk-bentuk partisipasinya dalam penelitian. Borg dan Gall (1989) mengungkapkan bahwa perencanaan penting dalam rangka mengantisipasi kebutuhan material, bantuan ahli, dan uji lapangan.

1. Merumuskan tujuan penelitian

Secara operasional, tujuan penelitian dapat dirumuskan dari masalah yang menjadi sumber munculnya ada dan mengapa penelitin dilakukan. Sumber muncul masalah penelitian adalah karena adanya kesejangan antara idealita (das sein) dan realita (das sollen). Dalam pendekatan R & D Pendidikan, sumber masalah penelitian dipetakan menjadi 4 bidang (Sumarno dalam Anik Ghufron, 2004) yang berakar pada mencari solusi pemecahan problem pendidikan dengan mencari dan atau mengembangkan model. Keempat bidang tersebut yaitu: 1) Organisasi dan Menajemen Pendidikan; 2) Pembiayaan Pendidikan; 3) Mutu/Pembelajaran; dan 4) Kinerja dan Manajmen Guru.

Dalam konteks penelitian dan Pengembangan Model Pelatihan ini, sumber masalah adalah mutu pembelajaran. Seyogyanya pendidikan untuk remaja akan menghasilkan remaja yang tuntas menjalani masa perkembangannya sehingga menjadi remaja efektif. Bentuk remaja efektif, di antaraya adalah remaja anti narkoba. Dalam gambar berikut dapat dilihat sumber masalah dalam konteks penelitian ini:


Dari sumber masalah tersebut dapat dirumuskan tujuan penelitian, yaitu Mengembangkan Model Palatihan/Training Mandiri: Remaja Efektif Anti Narkoba. Tujuan penelitian tidak harus hanya satu, boleh dua atau bahkan lebih, namun yang harus diperhatikan adalah fokus dari penelitian itu sendiri.

2. Memperkirakan Dana, Tenaga dan Waktu

Memperkirakan Dana, Tenaga dan Waktu adalah terkait dengan manajemen penelitian, artinya keberhasilan dan kegagalan penelitian. Oleh karenanya sangat penting untuk membuat estimasi dana, kebutuhan tenaga dan membuat time schedule. Untuk estimasi kebutuhan dana dalam penelitian, maka peneliti perlu membuat daftar kebutuhan, termasuk kebutuhan tenaga tambahan dan pendek-panjangnya rentang waktu yang akan dibutuhkan dalam penelitian. Membuat Daftar kebutuhan berarti mengurai perjalanan penelitian tahap demi tahap, mulai dari kebutuhan kertas dan tinta hingga untuk deseminasi dan distribusi produk dan implementasi tahap akhir.

3. Merumuskan kualifikasi peneliti dan bentuk-bentuk partisipasinya dalam penelitian

Pada dasarnya merumuskan kualifikasi peneliti ini adalah untuk mengatasi keterbatasan peneliti (utama). Seorang peneliti sangat mungkin mempunyai keterbatasan pada hal-hal tertentu, umpamanya keterbatasan dalam uji data statistik, pengambilan data dan lain-lain. Secara praktis, untuk membuat kualifikasi peneliti dan bentuk partisipasinya harus dibuat terlebih dahulu kebutuhan penelitian yang harus minta bantuan orang lain. Umpamamnya untuk pengembilan data, skoring data atau analisis data statistik.

E. Aplikasi III: Pengembangan Desain

Langkah-langkah dalam mengembangkan desain meliputi: 1) Menentukan desain produk yang akan dikembangkan (desain hipotetik); 2) menentukan sarana dan prasarana penelitian yang dibutuhkan selama proses penelitian dan pengembangan; 3) menentukan tahap-tahap pelaksanaan uji desain di lapangan; 4) menentukan deskripsi tugas pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian.

1. Menentukan Desain Produk yang akan dikembangkan (Desain Hipotetik)

Desain hipotetik Pelatihan Mandiri ini dapat didesain dengan memperhatikan hasil penelitian dan teori di bawah ini, yang terangkum aspek-aspek berikut:

a. Aspek Perkembangan remaja (Sasaran Produk Pengembangan);

b. Hasil Penelitian 1: Penyebab Remaja Menjadi Pemakai Narkoba;

Desain produk dalam konteks penelitian ini adalah sebagai berikut: CD Interaktif Pelatihan Mandiri Remaja Efektif, Remaja Anti Narkoba. Desain produk ini dikembangkan berdasarkan beberapa hasil penelitian dan survey, antara lain:

Dalam sebuah hasil penelitian ilmiah, seorang psichiater Dr. Graham Blaine (dalam Subiyanto, 2006) antara lain mengemukakan bahwa biasanya seorang remaja mempergunakan narkotika dengan beberapa sebab yaitu:

1) Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya seperti: ngebut, berkelahi, bergaul dengan wanita dan lain-lain.

2) Untuk menunjukkan tindakan menentang otoritas terhadap orang tua atau guru atau norma-norma sosial.

3) Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seks.

4) Untuk melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional.

5) Untuk mencari dan menemukan arti dari pada hidup.

6) Untuk mengisi kekosongon dan kesepian/kebosanan.

7) Untuk menghilangkan kegelisahan, frustasi dan ketepatan hidup.

8) Untuk mengikuti kemauan kawan-kawan dalam rangka pembinaan solidaritas.

9) Hanya iseng-iseng atau didorong rasa ingin tahu.

c. Hasil Penelitian 2: Prinsip-Prinsip Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba

Menurut Sadar (Badan Narkotika Nasional, 2006), pencegahan penyalahgunaan narkoba terhadap anak dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Menjadi orang tua sekaligus sahabat.

a) Jadilah teman diskusi dan pendengar yang baik terhadap masalah yang dihadapi anak. Ajak anak untuk berdialog secara terbuka dan mendalam, tentunya di saat yang tepat. Perhatikan ekspresi wajah dan tingkah lakunya, jagalah kerahasiaan anak serta emosi Anda.

b) Menjadi tempat bertanya, mengikuti perkembangan anak dan permasalahannya, sehingga dapat memberikan penjelasan bila anak bertanya, termasuk masalah narkoba.

c) Kenali dan berkomunikasilah dengan teman-teman anak Anda. Bila putra-putri Anda membawa teman ke rumah, bergabunglah dengan mereka, walau sejenak, tanpa mempermalukan anak di depan teman-temannya. Pembiasaan ini akan membuat anak maupun teman-temannya menjadi akrab dengan orang tua dan menganggap orang tua sebagai bagian dari kelompok mereka.

d) Ketika komunikasi berlangsung, tumbuhkan kesadaran dan beritahukan akibat negatif jika menyalahgunakan narkoba. Di antaranya: tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di masyarakat, mengakibatkan putus sekolah, terlibat tindak kekerasan dan mengganggu ketertiban umum, terkena berbagai macam penyakit, kurang dihargai dan dipercayai orang, dikucilkan dari lingkungan, yang pada akhirnya tidak bisa menjadi manusia mandiri.

e) Kontrol kegiatan anak untuk menunjukkan bahwa Anda punya perhatian khusus kepada anak tanpa bertindak semaunya, dengan senatiasa berdialog dan mempertimbangkan keberatan-keberatan yang disampaikan anak.

2) Setiap peraturan berlaku bagi tiap anggota keluarga

a) Bila Anda tidak menghendaki anak merokok, maka Andapun jangan merokok. Selain itu, jujur dan akui kelemahan-kelemahan Anda kepada anak tanpa harus merasa takut kehilangan wibawa.

b) Buat aturan secara konsisten, kontinyu, dan konsekuen. Pertimbangkan pendapat anggota keluarga secara umum. Aturan yang telah ditetapkan, harus dilaksanakan seluruh anggota keluarga, tidak terkecuali Anda sendiri sebagai orang tua.

3) Mengarahkan tanpa menggurui anak

a) Kembangkan tradisi keluarga dan nilai-nilai relijius hingga menjadi budaya keluarga. Misalnya: makan malam bersama, melaksanakan ibadah bersama, mengerjakan pekerjaan rumah bersama pada hari libur, rekreasi, sampai pada budaya mengakui kesalahan dan meminta maaf, baik anak kepada orang tua ataupun orang tua kepada anak.

b) Ketahui dan gali potensi anak untuk dikembangkan melalui berbagai kegiatan dengan membimbing, membantu dan mengembangkan, serta mengatasi tekanan dan pengaruh negatif teman sebayanya. Melalui prestasinya maka akan tumbuh rasa percaya diri, harga diri yang positif, dan akhirnya memiliki jati diri yang stabil.

4) Libatkan anak untuk mewujudkan cita-cita keluarga. Untuk merealisasikan cita-cita tersebut, Anda harus memiliki komitmen yang kuat dalam membiasakan anak sejak dini untuk terlihat mewujudkan keutuhan dan keharmonisan keluarga -misalnya diskusi tentang masalah keluarga, mengomentari berita di televisi, dan lain-lain.

d. Aspek Desain Produk

Selanjutnya, dalam mendesain produk R & D harus memperhatikan hal-hal berikut:

1) Kejelasan tujuan pelatihan;

2) Relevansi tujuan pembelajaran dengan kebutuhan remaja;

3) Ketepatan penggunaan media yang sesuai dengan tujuan dan materi pembelajaran;

4) Kesesuaian materi, pemilihan media dan evaluasi (latihan, test, kunci jawaban) dengan tujuan pembelajaran;

5) Sistematika yang runut, logis, dan jelas;

6) Interaktivitas;

7) Penumbuhan motivasi belajar;

8) Kontekstualitas;

9) Kelengkapan dan kualitas bahan bantuan belajar;

10) Kejelasan uraian materi, pembahasan, contoh, simulasi, latihan;

11) Konsistensi evaluasi dengan tujuan pembelajaran;

12) Relevansi dan konsistensi alat evaluasi;

13) Pemberian umpan balik terhadap latihan dan hasil evaluasi.

e. Aspek Rekayasa Perangkat Lunak dalam Pemanfaatan Bahan dan Strategi

Dalam mendesain produk, pemanfaatan bahan dan strategi model harus memperhatikan hal-hal berikut:

1) Efektif dan efisien dalam pengembangan maupun penggunaan media pembelajaran;

2) Reliabilitas (kehandalan);

3) Maintainabilitas (dapat dipelihara/dikelola dengan mudah);

4) Usabilitas (mudah digunakan dan sederhana dalam pengoperasiannya);

5) Ketepatan pemilihan jenis aplikasi/software/tool untuk pengembangan;

6) Kompatibilitas (media pembelajaran dapat diinstalasi/dijalankan di berbagai hardware dan software yang ada);

7) Pemaketan program media pembelajaran terpadu dan mudah dalam eksekusi;

8) Dokumentasi program media pembelajaran yang lengkap meliputi: petunjuk instalasi (jelas, singkat, lengkap), trouble shooting (jelas, terstruktur, dan antisipatif), desain program (jelas dan menggambarkan alur kerja program);

9) Reusabilitas (sebagian atau seluruh program media pembelajaran dapat dimanfaatkan kembali untuk mengembangkan media pembelajaran lain).

f. Aspek Komunikasi Visual

Selain harus memperhatikan aspek-aspek di atas, strategi training mandiri harus dengan memperhatikan hal-hal berikut:

1) Komunikatif: visualisasi mendukung materi ajar, agar mudah dicerna oleh peserta;

2) Kreatif: visualisasi diharapkan disajikan secara unik dan tidak klise (sering digunakan), agar menarik perhatian;

3) Sederhana: visualisasi tidak rumit, agar tidak mengurangi kejelasan isi materi ajar dan mudah diingat;

4) Unity: menggunakan bahasa visual yang harmonis, utuh, dan senada, agar materi ajar dipersepsi secara utuh (komprehensif);

5) Penggambaran objek dalam bentuk image (citra) yang representatif;

6) Pemilihan warna yang sesuai, agar mendukung kesesuaian antara konsep kreatif dan topik yang dipilih;

7) Tipografi (font dan susunan huruf), untuk memvisualisasikan bahasa verbal agar mendukung isi pesan, baik secara fungsi keterbacaan maupun fungsi psikologisnya;

8) Tata letak (lay-out): peletakan dan susunan unsur-unsur visual terkendali dengan baik, agar memperjelas peran dan hirarki masing-masing unsur tersebut;

9) Unsur visual bergerak (animasi dan/atau movie), animasi dapat dimanfaatkan untuk mensimulasikan materi ajar dan video untuk mengilustrasikan materi secara nyata;

10) Navigasi (icon) yang familiar dan konsisten agar efektif dalam penggunaannya.

2. Menentukan sarana dan prasarana penelitian yang dibutuhkan selama proses penelitian dan pengembangan

Menentukan sarana dan prasarana bertujuan untuk kelancaran penelitian yang akan dilakukan. Semua direncanakan secara detail untuk menjamin kelancaran penelitian. Sarana dan Prasarana penelitian dalam konteks ini dapat berupa program (sofware) dan perangkat keras (hardware). Termasuk dalam kategori sarana-prasarana terpenting adalah instrumen penelitian untuk memperoleh umpan balik dari pemakai produk dan ahli (untuk mengevaluasi validitas produk dan validitas konstruk).

3. Menentukan tahap-tahap pelaksanaan uji desain di lapangan

Tatap-tahap pelaksanaan uji desain di lapangan meliputi: Kesiapan model, personel, tempat, subjek penelitian, instrumen evaluasi. Prinsip terpenting dari tahapan uji terbatas ini adalah adanya umpan balik dari pemakai produk. Oleh karenanya

4. Menentukan deskripsi tugas pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian

Deskripsi tugas pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian ini adalah prosedur kerja dari pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian (pengembang, peneliti, guru/tainer, orang tua, peserta tarining/sasaran, ahli, asisten).

F. Aplikasi IV: Preliminary Field Test

Tujuan dari langkah ini adalah untuk memperoleh deskripsi latar (setting) penerapan atau kelayakan suatu produk. Hal terpenting dari langkah ini adalah didapatnya umpan balik dari produk yang sudah didesain untuk mendesain ulang produk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Langkah ini meliputi: 1) melakukan uji lapangan awal terhadap desain produk; 2) bersifat terbatas, baik substansi desain maupun pihak-pihak yang terlibat; 3) uji lapangan awal dilakukan secara berulang-ulang sehingga diperoleh desain layak, baik substansi maupun metodologi.
Uji yang pertama ini bersifat terbatas untuk meminimalkan resiko dari pengujian tersebut. Dari uji awal ini didapatkan kelemahan dan kelebihan dari desain yang sudah ada tersebut. Langkah pengujian ini dapat dilakukan di depan 4 sampai 8 partisipan (subjek dari model yang dikembangkan, yaitu remaja).

G. Aplikasi V: Revisi Hasil Uji Lapangan Terbatas

Langkah ini merupakan langkah lanjutan dari langkah sebelumnya -beberapa ahli di Indonesia menyatukan langkah ini dengan langkah sebelumnya, dan menyatukan kelima dengan keenam serta menyatukan langkah ketujuh dengan kedelapan, sehingga sepuluh langkah menurut Borg dan Gall ini diringkas menjadi tujuh langkah. Borg dan Gall sendiri dalam menjelaskan sepuluh langkah ini juga meringkas menjadi tujuh (dengan tetap mempertahankan sepuluh langkah R&D). Langkah ini pada intinya bertujuan untuk merevisi produk berdasarakan hasil uji lapangan terbatas.

Data yang diperoleh dari hasil uji lapangan terbatas dikumpulkan dan kemudian dianalisis. Hasil analisis tersebut digunakan oleh pengembang untuk merancang ulang produk yang akan dikembangkan.

H. Aplikasi VI: Main Field Test

Langkah merupakan uji produk secara lebih luas, biasanya disebut uji coba utama. Tujuan dari tahap ini adalah menentukan apakah suatu produk yang hendak dikembangkan benar-benar telah menunjukkan suatu performansi sebagaimana yang diharapkan. Langkah ini meliputi 1) melakukan uji efektivitas desain produk; 2) uji efektivitas desain, pada umumnya, menggunakan teknik eksperimen model penggulangan; 3) Hasil uji lapangan adalah diperoleh desain yang efektif, baik dari sisi substansi maupun metodologi. Tahapan ini biasanya menggunakan rancangan penelitian eksperimen.

I. Aplikasi VII: Revisi Hasil Uji Lapangan Lebih Luas

Langkah ini merupakan perbaikan kedua setelah dilakukan uji lapangan yang lebih luas dari uji lapangan yang pertama. Bahan revisi tahap ini adalah hasil uji coba utama. Hasil revisi tahap ini adalah produk yang siap divalidasi.

J. Aplikasi VIII: Uji Kelayakan (Operational Field Test)

Langkah ini dilakukan dengan skala besar: 1) melakukan uji efektivitas dan adaptabilitas desain produk; 2) uji efektivitas dan adabtabilitas desain melibatkan para calon pemakai produk; 3) hasil uji lapangan adalah diperoleh model desain yang siap diterapkan, baik dari sisi substansi maupun metodologi. Tujuan utama dari tahap ini adalah untuk menentukan apakah suatu produk yang dikembangkan tersebut benar-benar siap pakai oleh sasaaran produk tanpa melibatkan kehadiran peneliti atau pengembang produk. Pada umumnya tahap ini disebut tahap validasi model.

K. Aplikasi IX: Revisi Final Hasil Uji Kelayakan

Langkah ini akan lebih menyempurnakan produk yang sedang dikembangkan. Sebagaimana dilakukan pada langkah-langkah sebelumnya, yaitu hasil uji dapat dijadikan umpan balik untuk perbaikan dan penyempurnaan produk yang dikembangkan .

L. Aplikasi X: Desiminasi dan Implementasi Produk Akhir

Laporan hasil dari R & D dapat berupa tesis, disertasi atau Hasil Penelitian. Sebisa mungkin hasil penelitian tersebut diringkas dalam bentuk artikel yang bisa dimuat di Jurnal Ilmiah ataupun media massa. Hal ini untuk mempublikasikan hasil penelitian tersebut. Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat juga dipublikasikan melalui forum-forum ilmiah. Sementara itu, produk dari penelitian yang telah dilakukan dapat didistribusikan melalui perpustakaan, dinas-dinas terkait ataupun melalui toko buku. Yang terpenting dalam mendistribusikan produk ini adalah produk harus dilakukan setelah melalui quality control.

M. Kesimpulan: Meringkas Langkah dan Penyusunan Laporan

Kesepuluh langkah tersebut, dapat diringkas menjadi lima langkah:

1. Studi Pendahuluan, yang merupakan kegiatan research and information collecting, memiliki dua kegiatan utam, yaitu studi literatur (kaji pustaka dan hasil penelitian terdahulu) dan studi lapangan.

2. Tahap perencanaan, sebagai gabungan dari tahap planning and development of the preliminary form of product. Tahap ini meliputi penentuan tujuan, menentukan kualifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian dan pengembangan (peneliti, guru, orang tua, trainer), merumuskan bentuk partisipasi pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian dan pengembangan, menentukan prosedur kerja, dan uji kelayakan. Dari kegiatan perencanaan ini diperoleh draft desain model yang siap diujicobakan.

3. Tahap uji coba, meliputi: preliminary field testing, main product revision, main field testing, dan product revision, yang memiliki kegiatan utama uji coba, baik uji coba terbatas, maupun uji coba lebih luas. Kegiatan ini menjadi satu dengan revisinya setiap selesai uji coba. Kegiatan uji coba ini dilakukan secara siklis (desain, implementasi, evaluasi dan penyempurnaan) sampai ditemukan model yang siap divalidasi.

4. Tahap Validasi, terdiri dari tahap operatioonal field testing dan final product revision yang bertujuan untuk menguji odel melalui eksperimentasi model kepada sejumlah responden. Hasil eksperimentasi ini menjadi bahan pertimbangan dalam membuat rekomendasi tentang efektivitas dan adaptabilitas produk dalam konteks sistem pendidikan.

5. Tahap pelaporan, yang diartikan sebagai tahap dissemination and implementation mengandung kegiatan pelaporan dan distribusi.

Lazimnya, penelitian di Program Pascasrjana UNY membagai sistematika Laporan Penelitian dalam format 5 lima bab.

Bab I: Pendahuluan, yang meliputi: 1) Latar Belakang Masalah; 2) Rumusan Masalah; 3) Tujuan Pengembangan; 4) Spesifikasi Produk; 5) Pentingnya Pengembangan; 6) Asumsi dan Keterbatasan; 7) Definisi Istilah.

Bab II: Kajian Pustaka, yang meliputi: 1) Acuan konsep, teori, prinsip dan landasan pengembangan yang terkait dengan spesifikasi produk; 2) Kajian mengenai model yang digunakan, bagian ini memaparkan mengenai model dan mengapa model ini dikembangkan; 3) Upaya lain yang pernah dilakukan untuk memecahkan masalah terkait.

Bab III: Metode Penelitian, yang meliputi: 1) Model Pengembangan (berfokus pada kelas, produk, sistem atau organisasi); 2) Prosedur Pengembangan; 3) Uji Coba Produk (desain uji coba, subjek uji coba, jenis data, instrumen pengumpul data, teknis analisis data).

Bab IV: Hasil Pengembangan, yang meliputi: 1) Penyajian data uji coba; 2) Analisis data uji coba; 3) revisi produk.

Bab V: Penutup, yang meliputi; 1) Kajian produk yang telah direvisi; 2) Saran Pemanfaatan, 3) Diseminasi dan 4) Pengembangan Produk Lebih Lanjut.

DAFTAR BACAAN

Anik Ghufron. 2006. Pendekatan Penelitian dan Pengembangan (R&D) di Bidang Pendidikan dan Pembelajaran. Outline Perkuliahan Program Studi Teknologi Pembelajaran Semester I Tahun Akademik 2006/2007. Universitas Negeri Yogyakarta.

Ary, Donal dkk. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Penerjemah Arief Furchan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Borg, Walter R. & Gall, Meredith Damien Gall. Educational Research: An Introduction, Fifth Edition. New York: Longman.

Idionline (2006). Remaja Berkepribadian Lemah dan Narkoba diakses dari http://www.keluargasehat.com/keluarga-remajaisi.php?news_id=636 tanggal 18 Desember 2006.

Irmayani & Kanya Eka Santi. 2006. Forum Aliansi Anti Narkoba (ASA-NARKOBA) :Suatu bentuk pemberdayaan pranata sosial lokal dalam menangani penyalahgunaan narkoba di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Diakses dari http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2004/irmayani.htm tanggal 6 desember 2006.

Lilly H. Setiono. 2006. Beberapa Permasalahan Perkembangan Kejiwaan Remaja. Diakses dari http://www.duniaguru.com/Mengenal%20Siswa/psikologi_remaja.htm, tanggal 8 September 2006

Noeng Muhadjir, 2003. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation Research: Integrasi Penelitian, Kebijakan dan Perencanaan. Yogyakarta: Rake Sarasin

Sadar Badan Narkotika Nasional. 2006. Mencegah, Mencari Tahu, dan Menyelamatkan Anak dari Narkoba. Diakses dari http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=ArtikelCegah&op=detail_artikel_cegah&id=48&mn=2&smn=e. tanggal 18 Desember 2006.

Subiyanto. 2006. Remaja dan Narkotika, diakses dari http://depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=287 tanggal 1 November 2006.

Suharsimi Arikuto. 1995. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Wasis D. Dwiyogo. 2004. Penulisan Proposal Penelitian dan Pengembangan. Makalah Lokakarya Metodologi Penelitian dan Pengembangan UNY, 19-20 Juli 2004.

Minggu, 06 April 2008

DESIGN AND DEVELOPMENT OF TECHNICAL AND VOCATIONAL TEACHER/TRAINER EDUCATION QUALIFICATION FRAMEWORK AND PROFESSIONAL STANDARDS IN THE OIC MEMBER COUN

DESIGN AND DEVELOPMENT OF TECHNICAL AND VOCATIONAL TEACHER/TRAINER EDUCATION QUALIFICATION FRAMEWORK AND PROFESSIONAL STANDARDS IN THE OIC MEMBER COUNTRIES

Assistant Professor Dr. Che Kum Clement,

Islamic University of Technology (IUT), Board Bazar, Gazipur-1704, Bangladesh

Abstract

Noticeable changes in today’s world of work have resulted in a variety of new and emerging occupations. Technical and vocational education teachers of the 57 member countries of the Organisation of the Islamic Conference (OIC) play a key role in the transaction of technical and vocational curriculum through organising a variety of curricular activities both in and outside the institute. A technical and vocational education teacher has to play diversified roles and responsibilities such as a subject specialist, an experienced practitioner, an effective communicator, a curriculum and instructional material developer, a manager, a counsellor, an evaluator and a motivator for entrepreneurship (Haider 2004, pp. 2). Through a proper designed framework of Teacher Qualification and professional Standards, all these desired skills could be achieved by TVET teachers of OIC countries (Che Kum 2005, pp. 4).

Developing professional standards in TVET teacher trainer Education is targeted to an international implementation aiming to define quality criteria for the education of further education and training. The full professionalisation of the actors in TVET within OIC and the entire scientific community is of crucial importance for the pro-active development and use of the relation between training the workforce and innovation process. The standard is meant to provide a basis for international co-operation as well as mutual exchange of students, teachers and TVET specialists. Furthermore it is meant as a basis for the mutual approval of students credits.

Some authors have suggested that the development of rigorous National Teacher Qualification Standards and their certification may increase the professional standing of the teaching profession; create a consistent, unified vision of accomplished teaching; and install in the general public a positive image of public education (Serafini 2002, pp. 318).



Jumat, 04 April 2008

DEVELOPING AND IMPLEMENTING TEAMWORK FUNDAMENTALS TRAINING

2. DEVELOPING AND IMPLEMENTING TEAMWORK FUNDAMENTALS TRAINING
2.1 Discussion
The skills and knowledge developed and improved during the training described in this
section should enhance the ability of facility personnel to function effectively in teams. For
any group to function effectively, its members must possess both technical and teamwork
skills. In situations where resources are limited or when actions must be taken promptly,
teamwork becomes increasingly important. Team deficiencies considered insignificant
during normal situations may become major obstacles in the decision-making and actioninitiation
process during abnormal conditions. Examples of obstacles and potential effects
include the following:
C Actions are not performed or are performed incorrectly due to improper
communications
C Actions are not verified due to misunderstandings of roles or responsibilities
C Blindly following incorrectly worded procedures can misguide task
performance
C Individual performance is inhibited due to stress
C Desired actions are not conducted due to coordination problems
C Important paperwork is improperly filled out or routed due to improper
communications
C Results of expensive experiments and projects are ruined due to poor initial
communications or direction.
Any of these obstacles resulting from poor teamwork could disrupt operations, experiments,
projects, or paperwork flow and possibly cause a safety risk or environmental hazard to
occur.
To develop the particular skills that a group of personnel need in their environment,
additional training should be provided to enable them to operate as an effective team. The
skills that are critical to successful team performance should be identified using the
systematic approach to training (SAT) processes found in DOE Training Program Handbook:
A Systematic Approach to Training and in DOE Handbook Alternative Systematic


Approaches to Training. Consideration needs to be given not only to technical systems, but
managerial and organizational ones as well. Systematic consideration of problems related
to goals, procedures, roles, and interpersonal relations is necessary to establish the need for
change, and the strategy by which improvement might be best achieved. Shortages in
qualified personnel or adequate resources also need to be considered. Initial training on
teamwork fundamentals should enhance the ability of personnel to:
C Demonstrate and promote effective communications, using both verbal and
nonverbal methods
C Interact effectively with team members of different personality types
C Provide leadership to team members to achieve team goals
C Resolve conflicts constructively within the team and with interfacing
organizations
C Recognize and reduce individual stress.
These fundamental skills should be developed progressively, using both classroom and
practical exercise training. The teamwork skills should be integrated into situations where
technical knowledge and skills and team skills are necessary. On-the-job and simulator
training can provide useful environments for achieving team proficiency in team skills. Roleplaying
in a classroom or laboratory setting can help with initial skill development.
Teamwork and diagnostic skills training should also be a part of the continuing training
program. The objective of continuing training in teamwork skills is to establish, maintain,
and enhance the performance of the individual and the team. Continuing training on
teamwork should be conducted using the same training settings and methods used in the
initial training portion of teamwork training. Continuing training should:
C Identify and correct performance deficiencies related to teamwork on the job
in normal and abnormal situations
C Emphasize industry events where poor teamwork was a factor
C Resolve team conflicts through role-plays, simulations, etc.
C Reinforce teamwork fundamentals during technical training.


There is no one best way to do team building. One approach is to deal with actual problems
in the work setting. This approach may focus more on group facilitation than on individual
skills training. From the beginning, the group learns to reflect on how it has previously
approached its work and to make plans for how to do it better. Upon completion of a task,
the group reflects again on what went well and what did not, and why. When a group is able
to productively reflect on its experience and to formulate and test out potential means of
improvement, they are showing the results of substantial team development. The learning
process is an ongoing one. Learning about themselves as a team and finding ways to
improve that learning process over time becomes a regular part of how they function.
Another approach (the one in this guide) is to begin team training with a focus on individual
skills, and then progress to focusing on the performance of the team as a whole. Efforts to
deal with the team as a whole may begin with role-playing and simulations before being
moved into the actual work setting.
Training in teamwork fundamentals should be presented to enable trainees to develop and
demonstrate basic skills before progressing to more advanced skills. Information from
supervisor training may be used as a building block to provide fundamental training in team
skills. The DOE Guide to Good Practices for Developing and Conducting Case Studies and
the DOE Handbook: Implementing U.S. Department of Energy Lessons Learned Program
can be used as references when developing case studies and role-play exercises for the
teamwork and diagnostic training. Teamwork fundamentals training should enable the
trainee to:
C Demonstrate ability to make his/her own thinking explicit and open to inquiry
from others. The trainee should support a position while inviting others to
question the assumptions upon which their position is based
C Demonstrate effective skills in verbal and nonverbal communications,
including listening
C Interact effectively with different personality types
C Delegate tasks effectively
C Coordinate successful completion of tasks
C Deal successfully with abnormal behavior
C Demonstrate techniques for praising and reprimanding personnel


C Provide on-the-job coaching of subordinates
C Establish feedback mechanisms that monitor the effectiveness of decisions
C Develop strategies that accomplish tasks efficiently and effectively.
Performance areas that impact teamwork are communication, stress management,
leadership, team building, and conflict resolution.
2.2 Communication
The skill that serves as a cornerstone for teamwork is communication. Without precise and
accurate communication, the effectiveness of the team is reduced. Communication
becomes critical especially during abnormal and emergency conditions. Communication
practices impact the effectiveness of a team by affecting the flow of information among team
members.
Training should be implemented that provides the team member with the ability to
communicate effectively. This training should enable the trainee to:
C Deliver clear and concise messages
C Apply the fundamentals of group communication such as methods used to
communicate, the impact of environmental conditions, and the medium used
to send the message
C Identify and overcome communication inhibitors such as lack of standardized
words/phrases, lack of procedural guidelines, inability to say or understand
"what you mean," noise in the workplace, and deficient or defective
communications equipment
C Establish and maintain effective communication during abnormal situations
C Establish and promote feedback mechanisms in the communication process.
Focus on what is right rather than who is right, the value of the feedback to
the other communicator, the amount of usable information, proper timing, and
paraphrasing or direct repeat back of messages
C Exchange information in an efficient and effective manner
C Influence team decisions by effective questioning and assertiveness
C Use facility procedures for communication practices.


2.3 Stress Management
Boredom and actual or anticipated abnormal conditions can make the work environment a
center of stress. Stress causing events could be when the only copy machine available
breaks in the middle of an important job or the client you've been trying to reach for the last
week calls as you leave to go to the bosses meeting. Stress can reduce a person's ability to
think clearly and can cause poor communications, degradation of teamwork, and faulty
decision making. Although stress cannot be eliminated from a work area, personnel should
be able to recognize and restrain its effects. To achieve this goal, training on stress
management fundamentals should be conducted. This training should enable the trainee to:
C Describe the relationship between performance and stress
C Identify conditions that cause stress both internal and external to the work
place such as physical, chemical, and emotional factors
C Identify variables that determine conditions or events that contribute to
individual stress
C Explain why thought processes suffer under stress
C Explain why a work team's performance is affected by the response of
individuals under stress
C Identify symptoms of stress-induced behavior such as rapid or shallow
breathing, dizziness, anger, loss of patience, and "drawer slamming"
C Apply methods that control the effects of stress on individual performance
during normal and abnormal conditions such as following procedures,
communicating effectively, applying breathing exercises, and relaxing. Note:
Procedures that are not written properly will also cause stress.
Stress management skills developed during initial training should be maintained and
enhanced during continuing training. Performance evaluations conducted on the job and
during simulator training should be used to identify areas where continuing training is
needed.


2.4 Leadership
Many work teams have a supervisor designated by the formal organization structure and
many do not, but in either case, each team member exercises some aspects of leadership in
his/her involvement with other team members and with outside groups. Team members
exercise leadership skills while coordinating tasks during day-to-day activities. To contribute
to the success of the team, every member of the team should understand the leadership
function.
Training in leadership for all work group personnel should enable them to:
C Define leadership and the leadership role in your facility
C Identify the aspects of an effective and non-effective leader
C Identify those factors that adversely impact the leadership role, and develop
methods to minimize the impact of these factors on team functions
C Identify and respond to the needs of individuals using different motivational
techniques
C Identify those characteristics of the team (i.e., group objectives and individual
and collective abilities) that impact on a person's leadership strategy and
control their effect on team output
C Fulfill leadership functions as needs arise within the team.
Practical exercises, role-plays, and classroom training with table-top drills should be used to
develop and enhance the ability of personnel to act effectively as a team.
2.5 Team Building
Training individual team members in teamwork skills is best seen as part of a larger, more
comprehensive program aimed at improving teamwork in larger organizational units. Team
building refers to a comprehensive program conducted at all levels to bring about better
team performance. It can be led by individual managers, supervisors, or specially skilled
trainers, facilitators, or consultants. Elements of a team building program include individual
skill training for technicians, operators, supervisors, and managers.


Teamwork training should be conducted to support the tasks identified in the job analysis.
Since most teamwork skills may not be identified by traditional methods of analysis, this
guide, the team itself, and references on team building also can be used to determine what
knowledge and skills are necessary. This training should enable individuals to:
C Function effectively within a group of people who possess varying technical,
communication, and interpersonal skills
C Identify deficiencies and initiate corrective action for performance problems
resulting from lack of teamwork
C Describe the organizational roles and responsibilities assigned to work team
members
C Describe and apply criteria used to measure team effectiveness
C Describe characteristics common to effective teams and determine which are
present in their own team
C Identify and promote factors essential to internal group support and
cohesiveness
C Describe disadvantages of teams and improve the individual's ability to
counteract these disadvantages
C Describe team member roles assigned only during abnormal or emergency
operations
C Determine how organizational and individual perceptions of assigned roles
and responsibilities influence individual performance
C Promote individual concepts and positions during interfaces with other people
C Define team values, attitudes, and beliefs, and identify those adopted by the
work team(s)
C Perform a self-assessment to identify and compensate for personality traits
that detract from effective teamwork
C Describe how team values, attitudes, and beliefs affect team interaction.
Effective team performance not only means successful completion of the technical task at
hand, but doing so in a way that increases the team's ability to do future work and satisfy the
needs of individual team members. While classroom learning has proven its utility for
addressing technical problems, it may not be the preferred approach to team development.
The team skills developed through classroom training and practice exercises may be

reinforced during on-the-job and simulator training. The proper mix and sequence of
approaches should be considered. Obtaining detailed knowledge of results over time can
help the individual organization learn which approaches will best meet its particular needs.
Team building goes beyond traditional skills training. The purpose is to get work done
better, and not simply to learn abstract concepts about groups or interpersonal dynamics.
Even when individuals possess strong team skills, they do not necessarily work well
together as a group. For this reason, intact work teams should go through the process
together. They develop and improve as a team by addressing actual issues of current
importance to the team.
Effective teams share several common characteristics.
C They operate with well defined goals, objectives, and expectations
C Members function interdependently with personal freedom to accomplish
assigned tasks
C Decisions on complex situations are made on the basis of team member
input rather than on an individual basis
C Information is shared freely
C High standards are set and maintained.
Once established, an effective team requires constant maintenance. Previously developed
competencies can assist with learning new skills and with adaptation to changing
circumstances and unique situations. To maintain effective work teams, an environment
should be established to promote these characteristics. Teamwork should be established
through training on roles, relationships, and procedures and by using realistic scenarios
when conducting role-plays and exercises that require the team to define each member’s
role in any situation and to identify the individual responsibilities towards the team.
To obtain a better functioning team, team building needs to take place on multiple levels. At
the individual level, individuals must have some level of teamwork skills. In addition,
managers, supervisors, trainers, and others in key leadership positions must learn and
consistently demonstrate effective teamwork skills. At the group level, teams learn to


develop the ability to work together effectively. At the organizational level, larger
organizational units learn better ways to interact.
The interaction between teams is also an appropriate focus of team building. This
interaction, and the quality of communication within the larger organizational units as a
whole, are important dimensions of team performance. It is important that this broader
context not be neglected in the teamwork training. Individual teams need to understand the
impact their performance has on other teams and the organization as a whole.
Developing effective teamwork needs support from the larger organization of which the
particular group is a part. Patterns of work used by larger organizational units will have a
significant impact on their component parts. For example, if the larger unit fails to consider
options before selecting a given alternative, it may be more difficult for a subordinate team
to adapt that as their own work practice.
2.6 Conflict Resolution
When not handled properly, conflict can severely hamper the ability of the team to complete
assigned tasks successfully, especially during stressful emergency situations. The ability of
team members to resolve conflict situations during both normal and abnormal conditions
should be developed and maintained to enable team personnel to:
C Identify common misconceptions about conflict and describe how these
misconceptions such as "personality difficulties" or challenging leadership
decisions inhibit conflict resolution
C Describe how controversies, conflicts of interest, and conflicts related to
stress affect the work team
C Achieve constructive conflict by applying techniques such as communicating
information accurately, having a supportive climate, sharing a common set of
values, and establishing and adhering to a common set of rules about conflict
C Assess situations that may result in destructive conflict such as physical
conflicts and conflict related to drugs or alcohol, and take actions necessary
to eliminate the adverse consequences


C Identify and respond to different styles of conflict resolution (i.e., compromise,
avoidance, accommodation, competition, and collaboration)
C Determine when the inability to resolve conflicts within the team should be
reported to higher supervision or management.
The conflict resolution skills developed in classroom training and through practical exercises
can be reinforced during on-the-job and simulator training and role-play exercises. An
understanding of the causes and benefits of constructive conflict helps the team members
recognize early signs of conflict and prepares them to handle or avoid highly emotional
issues. The resolution of conflict in a professional and timely manner will reduce stress
during situations when the team must focus its energies on controlling a situation.
2.7 Conclusion
In teamwork training, members of the group rely on one another to support their learning.
As such, establishing a higher level of cohesiveness can increase their learning and
achievement. A more people-centered learning environment with a high level of trust, ease
of communication, collaborative atmosphere, acceptance of personal responsibility, and
clear and accepted learning goals is the proper setting for team training. In this sense, the
medium is the message. The way the training is done gives much of the message about
what is to be learned.
Learning exercises should be designed so that successful completion requires collaboration
and constructive interaction among the team. Interdependence regarding materials,
information, roles, goals, and relationships with other groups all can promote the
development of cohesion in the group.
There are many resources available that can be used to develop teamwork fundamentals
training. An annotated bibliography is included in this guide to help direct the research
efforts of the training department.
( GUIDE TO GOOD PRACTICES
FOR TEAMWORK TRAINING AND
DIAGNOSTIC SKILLS DEVELOPMENT, from :U.S. Department of Energy FSC 6910
Washington, D.C. 20585)